Minggu, 26 April 2009

Nunukan, "Kota TKI" di Utara Kaltim

NUNUKAN- Persis di bawah Pulau Sipadan dan Ligitan yang dipersengketakan Indonesia dan Malaysia, terdapat dua pulau agak besar berdempetan, yaitu Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik. Pulau Nunukan bentuknya agak bulat seperti Pulau Bali, sedangkan Pulau Sebatik memanjang seperti Pulau Madura. Pulau Sebatik hingga saat ini terbelah dua, satu masuk Malaysia, sebelah lagi masuk Indonesia. Sebelum tahun 1999, wilayah utara Kaltim yang berbatasan dengan Sabah masuk Kabupaten Bulungan, namun sejak Oktober 1999, daerah itu dimekarkan dan menjadi Kabupaten Nunukan. Kabupaten Nunukan terdiri atas daratan di wilayah utara Kaltim yang berbatasan dengan Sabah, sedangkan ibukotanya berada di Pulau Nunukan dan kini jadi pembicaraan hangat karena didatangi puluhan ribu TKI. Konon, secara diam-diam mantan Menhankam Jenderal (Purn) Edy Sudrajat sempat meninjau dua pulau sengketa itu. Dalam peninjauan itu diketahui, Malaysia telah membangun kedua pulau itu menjadi pulau wisata meski masih dalam statusquo.

Kabupaten Nunukan juga sering kali terdengar dibicarakan berkaitan maraknya penyelundupan berbagai barang, dan terutama kayu ke Malaysia. Pada masa Orde Baru, Nunukan sempat populer ketika Menhut Muslimin Nasution dengan berani melakukan reformasi pengelolaan hutan di kawasan perbatasan (Kaltim-Sabah) dan tidak memperpanjang izin usaha Yayasan TNI AD, Yamaker di wilayah tersebut. Yayasan Yamaker diduga menjual kayu dalam jumlah sangat besar dan melakukan kerjasama berbau kolusi dengan pihak pengusaha Malaysia. Namun sayangnya, meski menjadi tempat yang sangat strategis, kota di Pulau Nunukan yang berbatasan dengan Sabah itu nasibnya tidak pernah berubah, tetap kumuh dan seperti tidak tersentuh pembangunan sejak Kemerdekaan RI diproklamirkan 57 tahun silam.

Sebenarnya pada zaman Orba, sudah ada langkah untuk memanjukkan kawasan perbatasan tersebut dengan terbentuknya ide konsep "Kawasan Berikat" Nunukan- Sebatik-Tawau. Prospeknya kawasan itu dari segi ekonomi dipandang sangat luar biasa, tetapi konsep pembangunan kawasan itu kemudian hilang.

Pemekaran wilayah
Barangkali warga Kabupaten Nunukan, khususnya pualu kecil yang menjadi ibukota kabupaten itu harus berterima kasih kepada Bupati Bulungan (1995-1998) RA Besing, yang atas usulannya memekarkan Bulungan, sebelumnya 15 kecamatan, menjadi empat daerah tingkat dua, aitu Bulungan, Tarakan, Malinau dan Nunukan. Maka pada tahun 1999, lahirlah UU No.47/1999 tentang pemekaran ilayah di Indonesia. Salah satunya, Nunukan menjadi kabupaten endiri yang terdiri atas lima kecamatan, yaitu Kecamatan Sebuku, embakung, Nunukan, Krayan dan Lumbis. Sejak saat itu, terutama sejak bergulirnya Otonomi Daerah, ana-dana pembangunan dari Pusat dan provinsi mulai banyak mengalir e Nunukan, dan secara perlahan denyut pembangunan di daerah itu ulai hidup. Kini Kabupaten Nunukan, dengan penduduk sekitar 76.000 jiwa, emiliki dana cukup besar untuk melaksanakan pembangunan karena PBD-nya sekitar Rp300 miliar, padahal sebelumnya rata-rata kurang ari Rp1 miliar/tahun. Dana besar itu dijadikan modal untuk membenahi Nunukan, namun embangunan fisik saja ternyata tidak cukup, karena diperlukan anyak dana untuk mengembangkan daerah, apalagi daerah itu memiliki otensi besar di bidang perkebunan, kelautan dan pertanian.

Transit TKI
Mata dunia kini kembali tertuju ke Nunukan, berkaitan dengan bencana nasional kemanusiaan akibat terjadinya penumpukan manusia yang dideportasi dari Malysia serta yang pulang dengan sendirinya menyusul diberlakukannya UU Keimigrasian yang baru Malaysia dan berlaku efektif 1 Agustus 2002. Pemberitaan yang begitu gencar dari media massa nasional dan asing, serta kantor berita transnasional, menyebabkan mata dunia tertuju ke daerah kecil di ujung Kalimantan itu. Pulau Nunukan yang menjadi pembicaraan kini dan menjadi bagian dari Kabupaten Nunukan, penduduknya tidak sampai 22 ribu jiwa, karena itu sangat luar biasa ketika para TKI memenuhi pulau itu yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah penduduknya. Pulau Nunukan yang sebelumnya adalah sebuah kecamatan dari Kabupaten Bulungan, kini menjadi Ibukota Nunukan, dan harus 'menanggung derita' dipadati puluhan ribu TKI yang juga menderita. Awal Agustus 2002, ketika UU Keimigrasian Malaysia diberlakukan, yaitu tenaga kerja asing harus memiliki dokumen resmi, Pulau Nunukan itu dimasuki sekitar 70.000 TKI. Wajah kota Nunukan yang sebenarnya semrawut, tampak tambah kusut dengan kehadiran puluhan ribu TKI. Kini, masa transisi tampaknya telah lewat, dan awal September 2002 Nunukan masih dipadati oleh sekitar 17.600 TKI. Kota Nunukan kini sangat ramai, di mana-mana tampak kerumunan orang-orang, sebagian besar adalah TKI dan keluarganya dari berbagai tingkatan usia, pria, wanita, tua, muda dan abak-anak hingga bayi.

Suasana kota di bibir laut yang udaranya cukup panas itu kian terasa panas akibat kerumunan TKI yang memadati rumah-rumah penduduk, gedung-gedung kosong, tenda-tenda penampungan darurat di lapangan dan pasar-pasar. Pemandangan yang mengenaskan tampak pada lokasi penampungan TKI, sebagian di antaranya ada yang tidur di atas tempat penjualan ikan.


Lintasan sejarah
Sebenarnya Nunukan memiliki lintasan sejarah cukup panjang, karena merupakan basis pertama pertahanan TNI AL (dulu KKO, Korps Komando AL) pada masa konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an. H. Mansyur, salah seorang tokoh Nunukan menuturkan bahwa sebenarnya daerah itu menyimpan sejarah perjuangan, namun selama ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Mengenai munculnya masalah TKI, katanya, tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Orba yang sentralistik dan mengabaikan pembangunan di daerah luar Pulau Jawa. Hal itu tampak dari wajah kota yang berkembang tanpa perencanaan, lokasi permukiman tidak teratur dan jalan- jalan sempit membuat kota sangat sumpek. Dia mengatakan, selama masa Orba potensi daerah sebagai kawasan yang berbatasan dengan Negeri Jiran diabaikan. Kesenjangan pembangunan sangat terasa antara Tawau (Sabah) dan Nunukan sehingga tidak heran kota di Malaysia menjadi daya tarik bagi warga Indonesia. Jarak yang begitu dekat dari Nunukan dan tersedianya lapangan pekerjaan menjadi daya tarik besar bagi para TKI yang kebanyakan dari Nusa Tenggara dan Sulawesi Selatan. "Kalau memang niat TKI ingin bekerja di perkebunan sawit, mengapa kawasan Nunukan tidak kita ubah saja menjadi daerah perkebunan sawit. Ketimbang kayunya dicari terus, lahan potensial untuk perkebunan sawit tersedia ratusan hektar," kata H. Mansyur yang juga Ketua DPRD Nunukan.

Wapres Hamzah Haz saat mengunjungi Nunukan, 4 September 2002 lalu berjanji akan mendukung pembangunan kawasan perbatasan, kini ditunggu rakyat. Rakyat Nunukan berharap agar ucapan Hamzah Haz bukan retorika politik untuk menenangkan suasana keruh akibat membanjirnya TKI di Nunukan, karena selama ini daerah itu memang telah menjadi "pintu" utara Kalimantan yang terabaikan. (ant/iskandar zulkarnaen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar